Khazanah Hukum: Harmonisasi Regulasi Penyelesaian Sengketa Ketenagakerjaan dalam Mewujudkan Iklim Usaha yang Kondusif
"Pentingnya harmonisasi regulasi penyelesaian sengketa ketenagakerjaan untuk menciptakan kepastian hukum dan iklim usaha yang kondusif."
Pendahuluan
Dalam pembahasan sesi II (kedua) terkait “Hukum Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Pelaksanaannya Dalam Mendukung Ekosistem Pemilik Usaha dan UMKM”, penulis telah memaparkan terkait regulasi eksternal yang menjadi guidance dan rujukan dalam menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Dalam sesi ini, yang merupakan sesi III (ketiga), penulis memaparkan hal-hal teknis terkait model penyelesaian sengketa ketenagakerjaan berikut tahapan-tahapan yang harus dilalui hingga sampai pada tahap akhir putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap dan membawa keadilan bagi para pihak.
Semoga dapat menjadi khazanah yang mencerahkan bagi para Pemilik usaha dan Pemilik usaha UMKM dalam memaknai harmonisasi dan proses akhir sesuai dengan harapan bersama.
Hubungan Pemilik Usaha dengan Buruh/Karyawan/Tenaga Kerja
Dalam siklus usaha, hubungan Pemilik usaha (pengusaha/pemberi kerja) dengan buruh adalah hubungan simbiosis mutualisme.
Seorang pengusaha tidak mungkin mampu melakukan seluruh aktivitas dan proses usahanya dari tahap awal hingga akhir tanpa bantuan orang lain/buruh. Sebaliknya, buruh/tenaga kerja/karyawan tidak akan mendapatkan imbalan atas jasanya tanpa adanya pekerjaan yang membutuhkan kehadiran pemberi kerja/pengusaha. Dalam kapasitas ini terjadilah interaksi yang saling membutuhkan satu sama lain.
Hak dan Kewajiban Pengusaha
- Memastikan agar tahapan produksi atas barang dan jasa berjalan dengan baik sehingga pengusaha tidak mengalami kerugian.
- Memahami bahwa pengusaha berhak memberikan perintah kepada pekerja untuk bekerja sesuai job desk-nya dan berkewajiban membayar upah kepada pekerjanya.
- Apabila terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK), maka harus dipastikan sudah melalui proses dan prosedur yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak dan Kewajiban Pekerja
- Melaksanakan kewajibannya, yaitu memenuhi pekerjaan dan mematuhi perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan perjanjian kerja bersama.
- Berhak atas upah, kompensasi PHK (uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, uang penghargaan kerja), serta uang kompensasi karena berakhirnya PKWT atau uang ganti rugi, hak atas surat keterangan bekerja dan hak atas keterangan upah.
- Berhak atas K3 (keselamatan dan kesehatan kerja) dan waktu istirahat dalam bekerja.
- Berhak atas kompensasi lain yang diatur perusahaan (hak sisa cuti, jasa produksi dan lain-lain) serta peraturan perundang-undangan.
Hubungan Kerja dan Perjanjian Kerja
Pada dasarnya antara pengusaha dan pekerja terdapat dua hal pokok yang saling mengikat:
-
Hubungan Kerja
Menurut Pasal 1 angka 15 UU No. 13 Tahun 2003: “Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah.”
Menurut Pasal 1 angka 1 PP No. 35 Tahun 2021: “Hubungan antara Pengusaha dengan Pekerja/Buruh berdasarkan Perjanjian Kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.” -
Perjanjian Kerja
Menurut Pasal 1 angka 14 UU No. 13 Tahun 2003: “Perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.”
Menurut Pasal 1 angka 9 PP No. 35 Tahun 2021: “Perjanjian antara Pekerja/Buruh dengan Pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.”
(Materi Pelatihan Pengacara Khusus Ketenagakerjaan MSDN, 16-08-2025 – Rolas Tampubolon)
Perselisihan Dalam Hubungan Industrial
Dalam praktik, sering terjadi ketidakharmonisan hubungan antara pengusaha dengan pekerja. Menurut Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU PPHI), perselisihan hubungan industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh.
Perselisihan perburuhan pada dasarnya adalah pertentangan/perselisihan/ketidaksepemahaman yang terjadi antara pengusaha dan pekerja/buruh karena perbedaan pendapat mengenai hak, kepentingan, pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan.
Empat Jenis Perselisihan Hubungan Industrial (Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2004)
-
Perselisihan Hak
Terjadi karena tidak dipenuhinya hak pekerja, misalnya perbedaan penafsiran terkait pelaksanaan peraturan perundang-undangan atau peraturan internal perusahaan (perjanjian kerja, peraturan perusahaan dan kesepakatan kerja bersama). -
Perselisihan Kepentingan
Berawal dari tidak adanya titik temu terkait kesepakatan dalam pembuatan dan pelaksanaan serta perubahan prosedur kerja. -
Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Bentuk perselisihan akibat tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang diputus secara sepihak oleh pemberi kerja dan menimbulkan kerugian bagi pekerja. -
Perselisihan Antar Serikat Pekerja
Terjadi di dalam satu perusahaan terkait kepentingan antar serikat pekerja yang tidak mencapai titik temu, menyangkut keanggotaan, rekrutmen keanggotaan, pelaksanaan hak dan kewajiban serikat pekerja, serta legalitas pembentukan serikat pekerja.
Payung Hukum Penyelesaian Perselisihan Ketenagakerjaan
Regulasi yang mengatur penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan perburuhan antara lain:
1. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
Merupakan payung hukum yang mengatur berbagai aspek ketenagakerjaan di Indonesia terkait hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha, perencanaan dan informasi ketenagakerjaan, pelatihan kerja, penempatan tenaga kerja, hubungan kerja, hingga penggunaan tenaga kerja asing. Undang-undang ini menekankan kesempatan dan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi serta perlindungan dasar bagi pekerja, seperti keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
Beberapa bab penting terkait penyelesaian perselisihan ketenagakerjaan antara lain:
- Bab IX – Hubungan Kerja (Pasal 50–66): mengatur perjanjian dan hubungan kerja.
-
Bab X – Perlindungan, Pengupahan dan Kesejahteraan (K3), antara lain:
- Perlindungan terhadap penyandang cacat (Pasal 67).
- Perlindungan terkait pekerja anak (Pasal 68–75).
- Perlindungan pekerja perempuan (Pasal 75–76).
- Perlindungan waktu kerja dan ibadah (Pasal 77–85).
- Perlindungan K3 (Pasal 86–87).
- Perlindungan pengupahan (Pasal 88–98).
- Perlindungan kesejahteraan pekerja (Pasal 99–101).
- Bab XI – Hubungan Industrial: mengatur fungsi pemerintah sebagai regulator, fungsi pekerja/serikat buruh, fungsi pengusaha, peraturan perusahaan, mogok kerja dan penutupan perusahaan/lock out (Pasal 102–149).
- Bab XII – Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 150–172): ketentuan mengenai PHK, larangan PHK sepihak, kompensasi dan hak pekerja.
- Bab XIII – Pembinaan (Pasal 173–175).
- Bab XIV – Pengawasan (Pasal 176–181).
- Bab XV – Penyidikan (Pasal 182): oleh kepolisian dan PPNS ketenagakerjaan.
2. Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Perppu No. 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja
Beberapa pasal penting terkait penyelesaian perselisihan perburuhan:
- Pasal 151: PHK wajib melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mufakat. Jika tidak tercapai, PHK hanya dapat dilakukan setelah ada penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
- Pasal 156: ketentuan mengenai pesangon, penghargaan masa kerja dan penggantian hak yang wajib diberikan pengusaha.
- Pasal 157A: pengusaha dan pekerja/buruh tetap wajib melaksanakan kewajibannya masing-masing selama proses penyelesaian perselisihan hubungan industrial sampai berkekuatan hukum tetap.
3. Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja
Undang-undang ini lahir di era reformasi sebagai bentuk demokratisasi bagi pekerja/buruh setelah era Orde Baru. Terdiri dari 47 pasal yang mengatur kebebasan berserikat.
Tujuan: memperjuangkan kepentingan dan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya, serta mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, dinamis dan berkeadilan.
Definisi Serikat Pekerja: organisasi yang dibentuk dari, oleh dan untuk pekerja/buruh, baik di perusahaan maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab guna memperjuangkan, membela, serta melindungi hak dan kepentingan pekerja/buruh serta meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh dan keluarganya.
4. Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (PPHI)
UU No. 2 Tahun 2004 dibentuk untuk menciptakan hubungan yang harmonis, dinamis dan berkeadilan dengan penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang cepat, tepat, adil dan murah. Terdiri dari 6 bab dan 126 pasal.
Penyelesaian perselisihan meliputi empat jenis:
- Perselisihan Hak (Pasal 2 huruf a).
- Perselisihan Kepentingan (Pasal 2 huruf b).
- Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja (Pasal 2 huruf c).
- Perselisihan Antar Serikat Pekerja/Buruh dalam satu perusahaan (Pasal 2 huruf d).
Penyelesaian PPHI dapat dilakukan melalui:
-
Jalur Non-Litigasi:
- Perundingan bipartit (Pasal 6–7).
- Mediasi (Pasal 8–16).
- Konsiliasi (Pasal 17–28).
- Arbitrase (Pasal 29–54).
-
Jalur Litigasi (Pengadilan Hubungan Industrial):
- Di tingkat pertama untuk perselisihan hak dan perselisihan PHK.
- Di tingkat pertama dan terakhir untuk perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan (Pasal 56).
Untuk perselisihan hak dan PHK masih dapat diajukan upaya hukum kasasi ke Mahkamah Agung. Sedangkan perselisihan kepentingan dan antar serikat pekerja dalam satu perusahaan tidak dapat diajukan kasasi (Penjelasan Umum UU No. 2 Tahun 2004).
Hukum acara yang berlaku di Pengadilan Hubungan Industrial adalah hukum acara perdata di lingkungan peradilan umum, kecuali yang diatur secara khusus dalam UU No. 2 Tahun 2004 (Pasal 57).
Gugatan diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri yang daerah hukumnya meliputi tempat pekerja bekerja (Pasal 81). Hal-hal yang perlu diperhatikan ketika mengajukan gugatan (Pasal 83 ayat (1)):
- Melampirkan risalah penyelesaian melalui mediasi atau konsiliasi.
- Memuat nama lengkap dan alamat para pihak.
- Mencantumkan pokok-pokok persoalan/objek gugatan.
- Melampirkan dokumen, surat dan hal-hal lain yang dianggap perlu oleh penggugat.
Setelah gugatan diajukan, akan dilaksanakan pemeriksaan oleh hakim dan diputus perkara perselisihannya.
Sanksi dalam UU PPHI
- Sanksi Administratif (Bab V, Pasal 116–121).
-
Sanksi Pidana (Bab V, Pasal 122 ayat (1)–(2)):
Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 12 ayat (1) dan (3), Pasal 47 ayat (1) dan (3), Pasal 90 ayat (2), Pasal 91 ayat (1) dan (3) diancam pidana kurungan 1–6 bulan dan/atau denda Rp10.000.000,00–Rp50.000.000,00. Perbuatan tersebut merupakan tindak pidana pelanggaran.
Tahapan Penyelesaian Sengketa Perburuhan/Ketenagakerjaan
Pada prinsipnya terdapat dua tahapan utama penyelesaian sengketa perburuhan/ketenagakerjaan:
1. Tahapan Non-Litigasi (Jalur Perdamaian)
-
Konseling
Sesi mendengarkan yang diinisiasi oleh HRD untuk membantu mendengarkan masalah karyawan secara individu atau kelompok, mengidentifikasi akar masalah dan mencari solusi yang tepat dan berkeadilan. -
Perundingan Bipartit/Negosiasi
Langkah berdiskusi langsung di antara para pihak yang berselisih untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima semua pihak (Pasal 6–7 UU No. 2 Tahun 2004). -
Mediasi
Melibatkan pihak ketiga yang netral untuk mempertemukan para pihak yang bersengketa guna mencapai kesepakatan. Mediator tidak memutus, tetapi membantu memberikan titik temu (Pasal 8–16 UU No. 2 Tahun 2004). -
Konsiliasi
Hampir serupa dengan mediasi, namun pihak ketiga memiliki kewajiban memberikan solusi, pertimbangan hukum dan pendapat (Pasal 17–28 UU No. 2 Tahun 2004). -
Arbitrase
Penyelesaian sengketa di luar pengadilan dengan melibatkan lembaga arbiter yang netral dan dipilih bersama. Putusan arbitrase bersifat final dan mengikat (Pasal 29–54 UU No. 2 Tahun 2004).
2. Tahapan Litigasi (Pengadilan Hubungan Industrial)
Merupakan solusi akhir apabila seluruh tahapan non-litigasi tidak mencapai titik temu dan mengalami deadlock. Penyelesaian dilakukan melalui gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Pengadilan Hubungan Industrial menangani sengketa yang melibatkan perusahaan dan karyawan, dengan syarat telah melalui upaya perundingan bipartit hingga tripartit sebagai bentuk musyawarah mufakat terlebih dahulu.
Penutup
Harmonisasi antara Pemilik usaha (pengusaha) dengan pekerja/buruh merupakan kondisi ideal dalam iklim berusaha. Sinergi di antara kedua unsur tersebut, yang dipadukan dengan regulasi yang mampu memberikan jaminan terciptanya iklim kondusif, adalah sebuah keniscayaan.
Pengusaha memiliki hak untuk memastikan agar tahapan produksi atas barang dan jasa berjalan dengan baik sehingga tidak mengalami kerugian. Sementara itu, pekerja dituntut untuk memaksimalkan tahapan produksi dan di sisi lain membutuhkan jaminan pemenuhan hak-haknya.
Regulasi yang mengatur penyelesaian perselisihan hubungan antara pengusaha dan pekerja adalah wujud kehadiran jaminan atas pengakuan hak dan kewajiban masing-masing pihak, baik pengusaha maupun pekerja/buruh.
Semoga bermanfaat.
Sumber Referensi
- Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
- Undang-Undang No. 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.
- Undang-Undang No. 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
- Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
- Materi Pelatihan Pengacara Khusus Ketenagakerjaan MSDM, 16-08-2025 – Rolas Tampubolon.
- Hukum Online.
Bersatu Kita Kuat, Bersama Kita Hebat
Tags: #UMKMPondokPetir #UMKMKelurahanPondokPetir #Kampung1000UMKM #UMKMDepok #UMKMKotaDepok #UMKMBojongsari #UMKMBosama #UMKMJawaBarat #UMKMJabar

Harap berkomantar sesuai topik artikel, komentar berupa Spam akan dimoderasi. Terima kasih